Generasi milenial adalah generasi yang
penuh dengan rasa ingin tahu yang tinggi, agresif dalam melakukan
inovasi, cepat menguasai teknologi, dan kreatif.
Di sisi lain, generasi milenial seringkali
memiliki sikap egosentris dan individualistis, serta menginginkan hasil
yang serba instan sehingga kurang menghargai proses. Sifat yang saling
bertolak belakang ini harus dapat diimbangi dengan bentuk pengasuhan
yang tepat dari orangtua.
“Orangtua harus terus mengembangkan
komunikasi yang efektif dengan anak, dengan memahami kondisi dan
keunikannya masing-masing. Karakter yang perlu dikembangkan dalam
pribadi mereka adalah etika, estetika, ilmu pengetahuan, nasionalisme,
dan kesehatan. Selain IQ (Intelligence Quotient), jangan lupa untuk
mengembangkan EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient).
Teruslah beri mereka kesempatan untuk menuangkan ide-ide unik dan
kreatifnya. Selain itu, teruslah menjadi idola bagi anak-anak kita,”
ujar Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi.
Hal itu disampaikan Kak Seto dalam webinar
Bincang Bersama Kak Seto dengan tema “Orang Tuaku Sahabat Terbaikku”
yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada 24 Juni 2020 kemarin.
Sementara itu, Deputi Tumbuh Kembang Anak
Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin sepakat bahwa generasi milenial memiliki
karakter yang agresif sehingga orangtua diharapkan memiliki kelekatan
dengan anak-anak mereka dan mengasuh dengan cinta.
“Generasi milenial memiliki karakter yang
agresif untuk melakukan sebuah inovasi dan semakin kreatif. Para
orangtua harus mampu beradaptasi dengan karakter tersebut dan mengelola
emosi mereka untuk memberikan pengasuhan berbasis hak anak dan mendukung
pendidikan karakter anak. Pengasuhan tersebut dapat dilakukan dengan
menjadikan anak sebagai sahabat. Dalam mengasuh anak, orangtua harus
mampu mendengar suara anak, mengajak anak berpendapat dan berdiskusi,
menjadi pendamping agar anak bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal,
serta mengajak anak untuk selalu peduli,” tutur Lenny.
Ketua
Bidang I Pengasuhan dan Pendidikan Karakter Organisasi Aksi Solidaritas
Era (OASE) Kabinet Indonesia Maju, Ratna Megawangi, mengatakan bahwa
kelekatan antara ibu dan anak merupakan hal yang penting dalam membentuk
karakter anak. Ratna menambahkan, kelekatan dengan ibu adalah mekanisme
pertama anak merasakan cinta.
“Ibu akan selalu datang kepada
anak-anaknya sejak bayi ketika mereka menangis untuk memenuhi kebutuhan
anaknya, seperti menyusui, mengganti popok, atau menggendongnya. Hal ini
mampu membentuk emosi dan pola pikir anak bahwa mereka memiliki orang
yang dapat mereka percaya dan mampu membuat mereka merasa aman. Pada
akhirnya, anak mampu meregulasi dan mengontrol emosinya, dan mereka
memiliki ibu sebagai sosok idola mereka. Dengan demikian, ketika dewasa
mereka dapat menumbuhkan komitmen bahwa ia merupakan orang yang bermoral
sesuai dengan penanaman moral yang dilakukan oleh ibunya sehingga
ketika ia melanggarnya ia akan merasa bersalah. Hal inilah yang disebut
dengan hati nurani,” tutur Ratna.
Berbicara mengenai cinta, Pendidik Yayasan
Rangkul (Relawan Keluarga Kita), Najeela Shihab juga memberikan tips
mengasuh anak dengan mencintai lebih baik melalui prinsip CINTA, yakni
Cari cara sepanjang masa, Ingat impian tinggi, Nerima tanpa drama, Tidak
takut salah, dan Asyik main bersama.
“Selain menerapkan prinsip CINTA, hubungan
orang tua dalam keluarga dan hubungan orangtua dengan dirinya sendiri
akan berpengaruh dalam membentuk karakter anak. Wajar ketika orangtua
memiliki emosi negatif atau marah. Hal ini terjadi karena kita memiliki
asumsi, harapan, dan ambisi terhadap anaknya. Hal yang membedakan adalah
bagaimana ketika orangtua berperilaku dalam menanggapi emosi negatif
yang dirasakan. Oleh karenanya, orangtua harus mampu menyikapi emosi
mereka, jangan lupa untuk sensitif terhadap kebutuhan sendiri dan
kebutuhan anak. Ingat, tidak ada orangtua yang sempurna, satu sama lain
harus saling belajar. Pengasuhan adalah urusan bersama,” jelas Najeela. (SP)
0 Komentar