Memastikan penegakan hukum dan regulasi yang mengatur agar korban mendapat keadilan dalam upaya penghapusan kekerasan seksual, menjadi sangat penting bahkan sebuah kebutuhan saat ini. Hal ini disampaikan Plh. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratna Susianawati lantaran jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin mengkhawatirkan sehingga Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) sangat dinantikan.
“Kemen PPPA Menerima banyak sekali
masukan, orasi dan dukungan masyarakat yang berharap ada sebuah payung
hukum atau regulasi yang bisa memberikan kepastian, baik itu dari sisi
pencegahan, penanganan, pemulihan, ataupun upaya-upaya penegakan hukum
dengan maraknya kasus-kasus kekerasan khususnya kekerasan seksual yang
semakin hari semakin mengkhawatirkan kita semua,” ujar Ratna dalam
Diskusi Daring ‘Penghapusan Kekerasan Seksual Demi Penegakan Keadilan,
Pemulihan Korban, dan Pencegahan Keberulangan yang Efektif’, Selasa
(11/08).
Meski Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU) PKS tidak masuk dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020, menurut Ratna ini menjadi
kesempatan yang baik bagi Kemen PPPA untuk mendapat masukan dari
berbagai pihak sebagai bahan pengayaan serta kembali melakukan kajian
ulang dan pembenahan-pembenahan dalam pembahasan RUU PKS. Tentunya agar
bisa memberikan regulasi yang sesuai kebutuhan dan keinginan semua
pihak. Ratna optimis, RUU PKS dapat masuk menjadi prioritas di Prolegnas
2021.
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI
Ace Hasan Syadzily tidak mudah membahas RUU hingga akhirnya menjadi
sebuah undang-undang. Konsekuensi dari tidak masuknya RUU PKS dalam
Prolegnas Tahun 2020 menyebabkan RUU PKS harus dibahas kembali dari
awal. Oleh karena itu, Ace berharap keterlibatan dan dukungan berbagai
pihak untuk memastikan RUU PKS menjadi undang-undang tidak putus.
“Upaya kita untuk mencegah dan melakukan
upaya penghapusan kekerasan seksual adalah kerja-kerja maraton yang
harus dilakukan oleh semua pihak. Ini (kekerasan seksual) masalah
serius. Penghapusan kekerasan seksual bukan hanya soal pemidanaan tapi
juga soal konstruksi cara berpikir kita, soal upaya kita melakukan
rehabilitasi terhadap korban, dan upaya kita untuk memanusiakan
manusia,” ujar Ace.
Menurut Pakar Hukum Keluarga
Soelistyowati Sugondo, urgensi UU PKS juga berkaitan dengan penegakan
hukum yang sering kali tersendat karena ketiadaan aturan hukum yang
dapat menjerat pelaku kekerasan seksual di luar yang diatur Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kehadiran UU PKS juga dinilai untuk
melindungi korban tidak hanya di dalam lingkup keluarga inti, tetapi
juga lingkup keluarga lebih besar misalnya dalam penanganan salah satu
bentuk kekerasan seksual yaitu pemaksaan perkawinan.
“Kejahatan atau kekerasan seksual yang
dialami pada korban itu berkepanjangan, malah kejahatannya itu berjalan
terus, sampai kapan tidak dapat dipastikan. Orang tidak mengira bahwa
sesungguhnya di balik pemaksaan perkawinan itu ada unsur tindak
pidananya baik pada saat kejadian pemaksaannya maupun akibat kemudian
ataupun jangka panjangnya. Jelas dari unsur paksaan maka ada kekerasan,
dan kekerasan termasuk tindak pidana,” jelas Soelistyowati.
Di sisi lain, RUU PKS telah merumuskan
penguatan kapasitas kelompok adat untuk mencegah kekerasan seksual,
serta pemulihan di samping sanksi pidana. Menurut Pakar Hukum Adat
Kunthi Tridewiyanti dan Tody Sashmita Jiwa Utama, di satu sisi masih
terdapat adat atau budaya yang merugikan perempuan, namun di sisi lain
ada juga yang memberikan perlindungan terhadap perempuan, baik melalui
sanksi adat maupun upaya pemulihan bagi korban.
“Dalam peradilan adat dalam penanganan
kasus-kasus kekerasan seksual, maka perlu ditekankan keadilan bagi
korban” ujar Kunthi Tridewiyanti.
“Tidak semua adat merugikan dan
menyudutkan korban kekerasan seksual, masih ada adat yang memiliki
narasi yang melindungi perempuan, hanya saja praktiknya bisa berbeda,
karena ditafsirkan atau dimaknai berbeda dari konsep awal. Maka penting
untuk memaknai narasi lokal yang baik ke dalam gagasan hukum nasional
untuk pencegahan praktik kekerasan seksual” tambah Tody Sashmita Jiwa
Utama.
Diskusi ke III ini merupakan bagian dari
Serial Diskusi Webinar tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dalam
Kerangka Undang-Undang. Diskusi dipandu oleh Valentina Sagala dengan
pembicara selain Pakar Hukum Keluarga Soelistyowati Sugondo, juga hadir
Pengajar di Universitas Indonesia Kunthi Tridewiyanti, Pengajar Fakultas
Hukum UGM Tody Sashmita Jiwa Utama, serta Ketua Komnas HAM Taufan
Damanik selaku penanggap aktif Taufan Damanik.
0 Komentar